ISSU-ISSU
KONTEMPORER HUKUM ISLAM DI INDONESIA
I.
PENDAHULUAN
Hukum
islam merupakan suatu etika atau peraturan yang mempunyai nilai didalam setiap
permasalahannya yang dapat di pahami secaranormatif,sosiologis,dan filosofis.
Pembahasan pada hukum islam ini yang nantinya akan menjadi suatu pedoman untuk
masyarakat. Dalam proses penyelesaian hukum di Indonesia banyak issu-issu
kontemporer yang mengeluarkan banyak pendapat tentang ajaran islam di
Indonesia.
Isu-isu
kontemporer selalu mencuat seiring dengan perubahan waktu dan zaman untuk
menghasilkan hukum islam yang responsif dalam persoalan di masyarakat indonesia.
Dalam
masyarakat muncul berbagai persoalan yang berhubungan dengan hukum islam
khususnya di indonesia, persoalan yang muncul diantaranya counter legal
drafting, fatwa-fatwa kontrofersi, pidananikah sirri .
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Counter
Legal Drafting
B.
Fatwa-fatwa
Kontroversi
C.
Pidana
Nikah Sirri
III.
PEMBAHASAN
A.
Counter
Legal Drafting
Dalam makalah ini
membahas tentang counter legal drafting kompilasi hukum islam . sedangkan
pengertian dari counter legal drafting adalah kontara penyusunan hukum, lagal
drafting sendiri pengertiannya adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan
peraturan [1] .
Counter Legal Drafting berisi usulan revisi
peraturan tentang hukum keluarga di Indonesia yang diformat dari perspektif
demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dan gender dalam konteks masyarakat
Indonesia. Konsep telah menyebabkan pro dan kontra di antara anggota
masyarakat. Para penentang umumnya berasal dari kelompok-kelompok Muslim yang
menjunjung tinggi agenda pelaksanaan syariah, sementara pendukung berasal dari
kelompok muslim yang mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender, hak asasi manusia,
demokrasi, dan pluralisme. Penolakan terhadap rancangan adalah hasil dari
penggunaan perspektif yang aneh dalam studi hukum Islam seperti demokrasi,
gender dan hak asasi manusia yang dianggap sebagai intrusi Barat terhadap hukum
Islam, dan produk-produk dari perspektif tersebut tidak mencerminkan ide-ide
berasal dari Al-Qur'an dan Hadis. Hukum Islam, karena itu, tidak dapat dianggap
sebagai masalah teologi murni, tetapi juga politik. Terlepas dari kontroversi,
tampaknya bahwa Counter Legal Drafting gagal untuk meyakinkan Pemerintah, DPR,
dan mayoritas tokoh Muslim konservatif, bahkan, kontroversi telah membuat
hubungan antara liberal dan konservatif Muslim buruk. Pada tataran konseptual,
Counter Legal Drafting bagaimanapun, telah berhasil untuk menyatukan hukum
Islam dengan ide-ide dan praktik demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan
keadilan gender dan kesetaraan di kedua metodologi dan perumusannya. Ide milik
Counter Legal Drafting telah menjadi obyek diskusi serius akademik di berbagai
universitas di Indonesia.
a. Pembentukan CLD-KHI dan Harapan Hukum Islam
CLD-KHI
adalah rancangan hukum kontra terhadap hukum Islam KHI-Inpres.KHI-Inpres berisi
aturan hukum Islam yang mengatur perkawinan, warisan dan sumbangan
Islam. Selain kelompok kerja, perumusan CLD-KHI melibatkan beberapa
ulama, pakar, dan aktivis LSM Islam yang memberikan kontribusi penting untuk
ide-ide dan pemikiran pembaruan hukum keluarga Islam. Pemilihan pada anggota
tim yang mengatur dan tim yang berkontribusi CLD-KHI dilakukan oleh Pokja PUG
berdasarkan latar belakang pendidikan mereka hukum Islam, keterlibatan mereka
pada isu-isu perempuan, dan kepedulian mereka pada perspektif gender dalam
membaca harta hukum Islam . Berbagai organisasi dan jaringan LSM juga
dipertimbangkan pada individu memutuskan siapa yang terlibat dalam
tim. Tugas utama dalam proses perumusan CLD-KHI sedang mengkaji
KHI-Inpres, mempelajari literature Islam klasik.Bahan dari CLD-KHI disebutkan
dalam bagian terakhir dari sebuah buku berjudul Pembaruan Hukum Islam: Counter
Legal Draft kompilasi Hukum Islam. Pembaharuan hukum Islam: Counter Legal Draft
terhadap Kompilasi Hukum Islam).[2]
b. Menyadari
Hukum Islam Demokrat dan Pluralis dan Kesetaraan Gender
Mulai
dari memahami kondisi sosial-politik setelah jatuhnya Orde Baru, tim CLD-KHI
ditantang untuk menyajikan Syariah yang cocok untuk Indonesia dan memperhatikan
pertimbangan untuk karakter bangsa, budaya, dan upayanya untuk menegakkan
demokrasi dan hak asasi manusia , termasuk hak-hak perempuan. Hal ini bertujuan
untuk melawan agenda formalisasi syariah yang ingin kembali ke Piagam Jakarta,
menetapkan negara Islam, mengabaikan pluralisme budaya dan mengabaikan hak-hak
perempuan.
Berdasarkan kerangka increment, tim CLD-KHI interpretes ayat-ayat Alquran dan al-Hadits dari perspektif kepentingan publik (mashlahah), kearifan lokal, logika maqashid al-syari'ah, dan publik. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip Fikih Islam dimanfaatkan oleh tim dalam merumuskan konsep hukum Islam. Tim, bagaimanapun, masih membutuhkan perbendaharaan karya-karya klasik (kitab kuning) dari berbagai sekolah hukum Islam.
Ini berarti bahwa semua aturan hukum Islam di CLD-KHI yang dirumuskan dari sumber otoritatif Islam, al-Qur'an dan al-Sunnah, dan treasury karya klasik (kitab kuning) dengan memeriksa kebutuhan, pengalaman dan tradisi hidup di antara para anggota masyarakat Indonesia, dan peradaban Islam secara umum serta peradaban Barat. Sejalan dengan perspektif, visi dan pendekatan, CLD-KHI mengusulkan prinsip-prinsip Islam yang berbeda dari KHI-Inpres, dan CLD-KHI membuat paradigma pernikahan, hubungan antara suami dan istri serta antara anak dan orang tua, administrasi pernikahan, perceraian , dan Current Tax Rekonsiliasi menjadi sama dan demokratis. Dalam konteks politik hukum, CLD-KHI menempatkan hukum Islam di bawah kerangka hukum nasional dan perubahan relasi gender di antara para anggota masyarakat Indonesia setelah Orde Baru. Perubahan relasi gender, baik di tingkat nasional maupun global, memerlukan aturan-aturan hukum Islam yang cocok dengan perubahan di indonesia.
Berdasarkan kerangka increment, tim CLD-KHI interpretes ayat-ayat Alquran dan al-Hadits dari perspektif kepentingan publik (mashlahah), kearifan lokal, logika maqashid al-syari'ah, dan publik. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip Fikih Islam dimanfaatkan oleh tim dalam merumuskan konsep hukum Islam. Tim, bagaimanapun, masih membutuhkan perbendaharaan karya-karya klasik (kitab kuning) dari berbagai sekolah hukum Islam.
Ini berarti bahwa semua aturan hukum Islam di CLD-KHI yang dirumuskan dari sumber otoritatif Islam, al-Qur'an dan al-Sunnah, dan treasury karya klasik (kitab kuning) dengan memeriksa kebutuhan, pengalaman dan tradisi hidup di antara para anggota masyarakat Indonesia, dan peradaban Islam secara umum serta peradaban Barat. Sejalan dengan perspektif, visi dan pendekatan, CLD-KHI mengusulkan prinsip-prinsip Islam yang berbeda dari KHI-Inpres, dan CLD-KHI membuat paradigma pernikahan, hubungan antara suami dan istri serta antara anak dan orang tua, administrasi pernikahan, perceraian , dan Current Tax Rekonsiliasi menjadi sama dan demokratis. Dalam konteks politik hukum, CLD-KHI menempatkan hukum Islam di bawah kerangka hukum nasional dan perubahan relasi gender di antara para anggota masyarakat Indonesia setelah Orde Baru. Perubahan relasi gender, baik di tingkat nasional maupun global, memerlukan aturan-aturan hukum Islam yang cocok dengan perubahan di indonesia.
B.
Fatwa-fatwa
Kontroversi
Secara bahasa fatwa berarti petuah,
nasihat, jawaban pertanyaan hukum. Menurut Ensiklopedi Islam, fatwa dapat didefinisikan sebagai
pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak
mempunyai daya ikat.
Disebutkan dalam Ensiklopedi Islam bahwa si peminta fatwa baik
perorangan, lembaga maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi fatwa atau
hukum yang diberikan kepadanya. Hal itu, disebabkan fatwa seorang mufti atau
ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang
sama, Fatwa biasanya cenderung dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap
perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu
sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal fatwa itu responsif,
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya, Futya pada dasarnya adalah profesi independen, namun dibanyak negara Muslim menjadi terkait dengan otoritas kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama hingga ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama bermutu sebagai mufti. Namun, pada masa-masa selanjutnya, pos-pos resmi futya diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan, Untuk dapat melaksanakan profesi futya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, beragama Islam. Kedua, memiliki integritas pribadi ('adil), ketiga ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki sesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi. Berbeda dengan seorang hakim, seorang mufti bisa saja wanita, orang buta, atau orang bisu, kecuali untuk jabatan kenegaraan. Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid. Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya, Futya pada dasarnya adalah profesi independen, namun dibanyak negara Muslim menjadi terkait dengan otoritas kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama hingga ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama bermutu sebagai mufti. Namun, pada masa-masa selanjutnya, pos-pos resmi futya diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan, Untuk dapat melaksanakan profesi futya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, beragama Islam. Kedua, memiliki integritas pribadi ('adil), ketiga ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki sesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi. Berbeda dengan seorang hakim, seorang mufti bisa saja wanita, orang buta, atau orang bisu, kecuali untuk jabatan kenegaraan. Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid. Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada
sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP
Muhammadiyah, selain itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, serta Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul
Ulama.[3]
Fatwa kontroversi disebabkan karena
selisih pendapat antara lembaga yang mengeluarkan fatwa dengan masyarakat.
C. Pudana
Nikah Sirri
Nikah sirri adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pernikahan
yang dilakukan bukan di depan pegawai kantor urusan Agama Kecamatan (KUA Kec)
sehingga pernikahan tersebut tidak tercatat di KUA. [4]
Rencana Kriminalisasi Praktek nikah sirri dalam rancangan undang-undang terapan
pengadian bidang perkawinan adalah hal yang tidak proporsional
dan berlebihan. keharusan pencatatan pernikahan guna memberikan kepastian hukum
dan mencegah dampak atau motif negatif dalam pernikahan. Pencatatan pernikahan
penting untuk kepentingan administratif, tidak ada alasan untuk menolak
pencatatan pernikahan, bahkan bisa jadi hukumnya wajib.penetapan peraturan
mengenai nikah siri harus dilihat secara komperehensif mengingat banyak faktor
yang menyebabkan praktik itu terjadi di masyarakat, antara lain faktor
keterbatasan akses dan ketidakmampuan secara ekonomi.Bagaimana mungkin orang
yang miskin, yang tidak mampu mengurus dokumen pernikahan dan membayar
administrasi, kemudian dia nikah siri, dipidana tiga bulan,ini bertentangan
dengan rasa keadilan. Memidanakan pelaku nikah siri seperti yang diatur dalam
Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama bidang Perkawinan dinilai tidak
komprehensif jika perbuatan zina atau kumpul kebo juga tidak
dipidanakan.[5]
Tentang adanya praktek nikah siri yamg dirugikan adalah istri dan anaknya
yang terlantar maka yang harus di pidana adalah perlakuanya, kalo nikah siri di
pidanakan itu tidak adil dan tidak sebanding dengan Zina .
Tentang nikah siri atau nikah
mut’ah (kawin kontrak), lebih baik kita berfikir dua kali krena pemerintah
berencana menjatuhkan pidana bagi pelakunya, semua ditunjukkan dalam RUU hukum
material peradialan agama bidang perkawinan, ancamanya bagi pelaku nikah sirri
adalah pidana kurungan maksimal enam bulan ,sedangkan bagi pelaku nikah mut’ah
lebih berat yaitu pidana penjara maksimal tiga tahun .
IV.
KESIMPULAN
Isu-isu kontemporeryang
terdapat dalam hukum islam memang mempunyai banyak cabang permaslahan, dari
beberapa bahasan diatas kita dapan ambil kesimpulan bahwa semua permasalah yang
mumcul itu bersumber dari masyarakat itu sendiri dan dari pemerintah nya pun
juga tidak diam lama persoalan hukum islam khusus nya dalam penentuan suatu
hukum dan suatu pidana nikah .
V.
PENUTUP
Demikian makalah Mengenai Isu-isu Kontemporer hukum islam di indonesia. Semoga pelajaran ini bisa bermanfaat dan mendapat ridla dari Allah SWT. Semoga bermanfaat amien.
Demikian makalah Mengenai Isu-isu Kontemporer hukum islam di indonesia. Semoga pelajaran ini bisa bermanfaat dan mendapat ridla dari Allah SWT. Semoga bermanfaat amien.
VI.
DAFTAR
PUSTAKA
http://google.com
http://www.google.com/Fatwa-pengertian.html
http://LEGAL DRAFTING « Tiar Ramon, SH.
MH.htm
Comments
Post a Comment